- Apel Siaga Bencana Hidrometeorologi 2025 Digelar di Lumajang
- Penetapan Calon Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Lumajang oleh KPU Pasca Pilkada 2024
- Rapat Pleno Terbuka KPU untuk Menetapkan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Lumajang
- Peningkatan Patroli Kecelakaan Lalu Lintas oleh Satlantas Polres Lumajang
- Langkah Pemerintah untuk Mengatasi Masalah Ternak yang Terjangkit Penyakit Menular Kepada Manusia (PMK) Ditetapkan di Daerah Terpilih
- Bupati Lumajang Tetapkan Anggaran 3,4 Miliar untuk Pembangunan Infrastruktur Parkir di Pusat Kota
- Pantai di Daerah Pesisir Menjadi Tempat Berburu Buaya
- Lumajang Mengadakan Penerapan Sistem Pelaporan Online untuk Meningkatkan Pengelolaan Perhubungan dan Infrastruktur
- Bupati Lumajang Mengunjungi Pemandian Alam yang Diperbaiki untuk Memastikan Kualitas Layanan
- Kebakaran Mobil Terjadi di SPBU Sumberjati Lumajang, Identitas Pemilik Terungkap
Sejarah Daging Babi ?
Babi Haram?
Keterangan Gambar : Sejarah Daging Babi
Kata “haram” itu sinonim dengan “dilarang”. Dari mana kita mengasosiasikan “perbuatan yang dilarang” dengan “benda yang dilarang” sebagai ketidaksempurnaan? Saya ingin meluruskan logika ini.
Yang dilarang dikonsumsi adalah daging babi, karena mengidamkan atau menghasratinya. Bukan yang lain dari babi atau bentuk lain, seperti ketika kita butuh daging babi untuk menyintas. Bukan DNA babi sebagai salah satu cara untuk memproses makanan. Bukan gelatin babi untuk obat atau bahkan gelatin babi diperlukan agar kondisi makanan tetap terjaga baik nutrisinya.
Jadi, Alquran sudah menegaskan Taurat, bahwa bagi para murid dan muhib yang menerima dan mengakui Kisah Sinai, lelaku spiritualitas dalam pola makan adalah pantang makan daging babi untuk kesenangan maupun untuk industri yang melampaui batas.
Jika daging babi adalah daging yang dilarang untuk dikonsumsi kemudian diberi penjelasan karena babi merupakan simbol hewan tertentu, sesuai nafs babi diciptakan oleh Allah, maka itu tidak berarti babi sebagai hewan yang tidak sempurna.
Dalam filsafat Islam atau filsafat Timur, ada pembahasan mengenai segala sesuatu adalah sempurna. Bahkan seorang disabilitas atau saya yang hidup dengan autoimunitas. Kami semua SEMPURNA.
Jadi, kendati babi diasosiasikan dengan hewan yang jorok, atau hewan yang rakus, jenis nafs ini hanya diceritakan untuk menunjukkan bahwa perilaku itulah yang harus dihindari. Yang dalam dunia jasmaniah, maka caranya adalah dengan pantang daging babi. Baik asosiasi itu benar atau tidak secara sains, sebab bukan itu fokus Dunia Agama.
Dunia Sains berbeda dengan Dunia Agama. Dunia Agama adalah Dunia Simbol. Karena itu, Dunia Agama menggunakan ekspresi atau ungkapan dalam SASTRA dan SENI. Sedangkan Dunia Sains adalah Dunia Indrawi -- atau empirisme dan positivistik.
Alquran berbentuk puisi, bukan prosa. Injil berbentuk perumpamaan, bukan artikel ilmiah. Menghubungkan diri kembali dengan Tuhan atau “The Self of the self” (Nafs dari nafs) dengan tarian, bukan dengan diskusi filsafat.
Masalah manusia modern adalah “de-simbolisasi” sehingga kerap gagal melihat simbol dan lapisan-lapisan ekspresi yang muncul.
Di samping itu, dalam Pandangan Dunia Timur, fokus kehidupan secara umum bukanlah “Kebenaran” atau pun “Mencari Kebenaran” seperti Pandangan Dunia Barat atau Hellenisme. Melainkan “Menempuh Perjalanan”. Bahwa kita saat ini adalah ruh atau jiwa yang sedang menempuh perjalanan sebagai manusia.
Dengan demikian, nilai-nilai yang berasal dari pandangan dunia itulah yang merupakan ruh atau jiwa dari agama sampradaya dan agama natural mereka yang hidup dari belahan dunia yang disebut Timur.
Pemahaman bahwa agama-agama yang menerima dan mengakui Kisah Sinai, atau Sinaisme, dan lazim disebut Abrahamic, sebagai agama-agama yang “manusia-sentris” telah dibelokkan oleh agama-agama imperialis-konsensus untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka.
“Manusia-sentris” yang dimaksud pastinya seperti yang diyakini orang-orang Bektashi saat ini, yaitu kesakralan jiwa dan raga manusia. Sementara itu, dalam agama-agama imperialis-konsensus, dipahami sebagai manusia yang diberi anugrah alamiah (melalui evolusi neo-korteks pada dirinya) maka berhak mendominasi planet bumi.
Bermula dari simbolisme “Manusia adalah citra atau rupa dan gambar Tuhan” yang dibelokkan menjadi “makhluk superior yang sempurna”. Padahal, dalam transmisi tulis Taurat, sejak awal pun simbol ini bersifat “fuzzy”, kecuali bahwa “Sesama manusia itu setara dan tidak boleh saling melenyapkan.”
Biasanya mereka yang berasal dari latar belakang agama atau pendidikan Kekristenan Barat sangat sulit keluar dari ruang lingkup pola pikir imperialis-konsensus tersebut dalam melihat simbol dan ekspresi keagamaan.
Ketika “manusia sentris” yang dimaksud seperti orang-orang Bektashi, maka fokus “perjalanan hidup sebagai manusia” tidaklah lain adalah untuk menyintas. Yang dalam kasus Kisah Sinai adalah bagaimana menyintas bersama-sama.
Dalam menyintas bersama-sama itu, berarti pula bagaimana resilien bersama-sama dari penderitaan akibat bencana alam dan dampak panjangnya, maupun akibat bencana kemanusiaan. Ini berarti pula selalu bergumul untuk beradaptasi dan bermitigasi. Ada kata yang sedang tren, yang saya serap sebagai “agilitas”.
Babi adalah salah satu hewan yang pertama kali didomestifikasi sebagai ternak dan sumber protein di Anatolia dan Mesopotamia. Kedua wilayah peradaban ini hidup berdampingan sebagai tetangga dekat, dan saling terkait satu sama lain sejak masa purbakala.
Sementara itu, dalam setting Kisah Sinai menunjukkan bahwa Mesir saat itu sedang menjadi adidaya yang menguasai banyak wilayah di Anatolia dan Mesopotamia, sehingga sebagian wilayah pun disebut “Mesir”. Seperti Hawaaii adalah bagian dari AS padahal berbudaya dan berbahasa Austronesia-Polinesia seperti kita di Indonesia.
Apakah perhatian utama dari Konfederasi Israil, yaitu konfederasi yang kembali merestorasi khazanah mereka dari Yakub itu? Tentu saja adalah untuk menyintas dan resilien, melalui adaptasi dan mitigasi cara hidup yang baru atau yang dianggap terbaik saat itu. Mengapa?
Karena mereka bersepakat bersama-sama meninggalkan penjajahan adidaya Mesir, sehingga disebut eksodus atau hijrah atau keluar dari perbudakan di Mesir. Yang dimaksud sebagai perbudakan itu tidak harus dalam arti "tidak dibayar sama sekali" atau seperti perbudakan AS abad 19 M.
Jika Konfederasi Israil tidak mampu beradaptasi dan bermitigasi, maka mereka akan kembali mengulangi siklus kelahiran dalam perbudakan atau penjajahan itu. Salah satu yang disoroti ialah keserakahan atau kekotoran (Misalnya, limbah industri peternakan). Di balik itu pula, mereka hidup dalam budaya transhuman di habitat yang sulit air.
Sejak zaman Enokh (Khidir atau Idris), leluhur mereka mempraktekkan budaya transhuman. Baik secara sekuler, maupun secara spiritual-religius. Banyak cerita bagaimana para resi yang memilih hidup di kota dan permanen, harus mengalami kekerasan, ketidakadilan, dan kejahatan yang di luar akal sehat.
Itulah alasan mengapa Sinaisme pada dasarnya tidak menggalakkan keberadaan kuil atau rumah ibadah permanen, dan lelaku ibadah mereka sangat sederhana saja yaitu sujud ke tanah. Bukan ibadah di kuil permanen. . Turbah menjadi kuil portabel. Pohon-pohon sebagai “grove” ada di mana-mana.
Contoh sederhana. Federasi Lewi, akhara mereka tidak bertempat di satu negeri khusus, sedangkan abdal mereka diberi fungsi khusus sebagai pendeta.
Dalam bahasa kekinian ada konsep tujuan pembangunan berkelanjutan, dan ada cara hidup yang mempertimbangkan keberlanjutan. Begitu juga dalam pola makan yang direkomendasikan oleh Nabi Musa, dan dilanjutkan oleh Yesus Kristus serta Nabi Muhammad.
Pertama, Semiotik. Simbolisme pada hewan babi atau hewan lainnya dimanifestasikan dalam wujud lelaku makan. Karena manusia tidak cukup hanya dengan kata-kata dan berangan-angan untuk tidak serakah, untuk sabar, untuk empati, dsb.
Tetapi, manusia perlu pengalaman dan pelatihan untuk sifat-sifat yang dapat mengarahkannya pada tikkun/rektifikasi (memulihkan penderitaan akibat dari tindak-tanduknya di muka bumi).
Kedua, Habitat. Pantang terhadap daging babi memiliki kaitan erat dengan menyintas dan resilien di habitat yang sulit air, sebagai masyarakat adat transhuman, entah nomaden atau seminomaden. Biasanya mereka adalah peternak sekaligus pengrajin dan pedagang.
Ketiga, Industri. Berkaitan dengan kesadaran bahwa budidaya ternak babi yang telah melampaui batas pada masa itu dan dipandang perlu segera diatasi segala dampaknya.
Kemudian, meregulasi cara menyembelih dan budidaya hewan lain yang pada masa itu dianggap lebih sesuai dengan habitat dan “lebih berkelanjutan” untuk konteks mereka.
Sejauh ini, kita tahu bahwa domba, kambing, dan sapi memiliki manfaat tambahan seperti menghasilkan susu yang bisa diminum dan keju dari susu, serta kulit yang bermanfaat untuk pakaian, dll.
Keempat, Rantai Makanan. Dalam berbagai cerita purba, sekali pun daging babi dilarang oleh para resi Sinaisme untuk dimakan, tetapi anjing sebagai hewan penjaga justru makan daging babi.
Artinya, para resi bukanlah orang yang tidak terhubung atau “disconnected” dengan alam. Mereka tahu mengenai rantai makanan. Tetapi, tidak selalu mudah menjelaskan alam dan sains kepada masyarakat akar rumput. Di sinilah digunakan Simbol dalam setiap ekspresi transmisi mereka.
Kelima, Manusia-Sentris. Tentu saja, sebagai manusia, secara hewaniyah korteks kita berpikir bagaimana cara untuk menyintas. Kebanyakan dari kita takut mati. Yang bunuh diri pun sebenarnya “takut mati dalam kehidupan”.
Tetapi, pantangan: makan daging babi, makan hewan perairan yang tidak bersisik, makan daging kelinci, makan daging hewan buas, dll, pada dasarnya bukanlah karena para resi memandang “manusia itu paling superior dan istimewa.” Lagipula, saya tidak menemukan apa korelasinya. Kecuali asosiasi kepada “haram” menjadi begitu artifisial dan superfisial.
“Haram” adalah perbuatan yang dilarang, termasuk mengkonsumsi sesuatu. Itu ada justru untuk keberlanjutan manusia sendiri, yang melihat ada kerapuhan dan kelemahan dalam diri mereka manakala mereka menerabas segala hal untuk dilakukan.
Membunuh, mencuri, menginginkan milik orang lain (serakah), mengkhianati pasangan, bersaksi dusta mengenai orang lain (fitnah), dst adalah haram. Apakah ada masalah dengan mengharamkan semua itu?
Memandang Realitas itu hanya Satu, sehingga tidak memotong-motong Tuhan YME, dan akhirnya melahirkan rasisme dan seksisme, di manakah letak masalahnya ini? Mengatur satu hari dalam seminggu untuk berhenti berproduksi dan mengeksploitasi makhluk, di manakah letak masalahnya ini?
Masalah kita bukanlah terletak pada hal-hal yang disebut haram oleh para resi Sinaisme itu. Tetapi, bagaimana kita mendefinisikan haram pada konteks itu, dan kemudian relevansinya pada konteks kita (masing-masing)?
Maka, melihatnya dalam skala yang amat luas, dalam kemanusiaan kita, dan dalam ruang lingkup “kepenyintasan” (survival) atau bahasa kekiniannya mungkin “keberlanjutan” (sustainability).
Para peneliti atau pemuka agama dari kaum imperialis-konsensus selalu gagal melihat para resi itu dan murid-murid mereka menganut agama sampradaya. Model agama yang merupakan suatu bentuk agama natural.
Karena itu yang biasanya mereka lihat adalah yang artifisial dan superfisial (dari fikih /yurisprudensi/ mitzvot, teks-teks dan ritus-ritus). Sebabnya, dalam agama imperialis-konsensus yang artifisial dan superfisial perlu untuk mengokohkan legitimasi mereka.
Saat ini telah terjadi pemahaman dan eksploitasi terhadap Simbol-Simbol dalam transmisi tulis serta lelaku yang melampaui batas lainnya. Benar.
Tetapi, itu tidak berarti bahwa kita berhak merendahkan atau menghina ijtihad orang-orang purbakala dalam konteks kehidupan mereka. Termasuk memandang mereka tidak punya pengetahuan dan tidak bersandar pada sains. Mengabaikan bahwa mereka sebenarnya sedang menggunakan Simbol.
Pemahaman konsensus yang menekankan “satu versi saja yang benar”. Pemahaman imperialis yang menekankan “satu tatanan dunia bagi seluruh kelompok manusia”. Inilah masalah imperialis-konsensus. Dan, pola pikir ini biasanya sangat kuat pada mereka yang memiliki latar belakang berkaitan dengan Kekristenan Barat, kelanjutan Kekaisaran Romawi yang Hellenis.
Ketika Dunia Muslim semakin dalam dan semakin intens terpapar dan terinfiltrasi oleh dua model itu melalui kolonialisme, oleh orang-orang yang berlatar belakang Kekristenan Barat, maka yang terjadi pun menjadi semakin kompleks. Agama sampradaya yang dianut Nabi Muhammad pun kini telah menjadi semakin langka bahkan di Dunia Muslim.
Sidhamastu,
Syekhah Hefzibah.