ESKAPISME POLITIK DALAM KEBUNTUAN KOMUNIKASI KOALISI BESAR
politik

By Abu Kusaeri 31 Mei 2023, 10:07:32 WIB | 👁 286 Politik
ESKAPISME POLITIK DALAM KEBUNTUAN KOMUNIKASI KOALISI BESAR

Keterangan Gambar : ESKAPISME POLITIK DA


Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan mencuatnya ide gagasan Koalisi besar yang diprakarsai oleh Airlangga hartanto selaku ketua umum Partai Golkar ( Golongan Karya ). Koalisi besar ini berisi gabungan Partai yang terhimpun dalam Koalisi sebelumnya yakni Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari GOLKAR, PAN, PPP dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari GERINDRA dan PKB yang akhirnya dinamakan sebagai koalisi Kebangsaan. Koalisi ini disinyalir hadir sebagai bentuk upaya untuk meneruskan arah pembangunan presiden jokowi dengan membuat stabilitas politik di pemerintahan kedepan dan ada pula yang beranggapan bahwa koalisi besar ini dibentuk untuk melawan Anies Baswedan di 2024 yang diusung oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS.

Koalisi gemuk semacam ini bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Hal yang hampir serupa terjadi pada 2 tahun awal pemerintahan Jokowi-JK, dimana saat itu pemerintah berupaya mengkosolidasikan partai politik oposisi untuk mengegolkan rencana-rencana Jokowi lewat figure-figur elit. Alhasil, Jokowi berhasil mengelola konflik untuk menghasilkan figur-figur politik oposisi agar berbalik mendukung pemerintahannya. Tentu, langkah-langkah semacam ini biasa dalam politik jika alasannya untuk menciptakan stabilitas politik di pemerintahan. Akan tetapi, langkah koalisi semacam ini juga merupakan kekeliruan jika kita benturkan dengan sistem politik dan pemerintahan yang berlaku di Indonesia.

Sistem Politik Indonesia yang ambigu

Indonesia merupakan Negara yang menganut mahzab presidensil dalam pemerintahannya. Dimana sistem presidensil ini jabatan presiden terspisah dengan badan legeslatif atau dengan kata lain kekuasaan presiden diluar pengawasan langusng dari lembaga legislatif. Bisa dikatakan sistem pemerintahan presidensil menjadikan Presiden tidak hanya sekedar menjadi kepala Negara tetapi juga kepala pemerintahan. Artinya, kekuasaan Presiden di dalam sistem presidensial haruslah kuat dan mutlak.

Pada faktanya, sistem pemerintahan semacam ini bertentangan dengan sistem politik kita yang multipartai. Banyaknya partai politik yang ikut serta dalam pemilu dan adanya Presidential Treshold 20-25% memungkinkan terjadinya koalisi dalam proses pemenangan politik. Padahal secara konseptual sistem presidensial melarang adanya koalisi agar kekuasaan eksekutif tidak rentan dengan pertentangan kepentingan politik parpol yang justru menghambat jalannya agenda-agenda pemerintahan. Belum lagi perbedaan kondisi partai pemenang eksekutif dan legeslatif yang berbeda, alih-alih menimbulkan pola check and balance, relasi antara eksekutif dan legeslatif justru syarat dengan konflik politik primordial. Hal ini bisa terlihat bagaimana upaya pemerintah untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan bernegara banyak mengalami kesulitan sebut saja soal RUU Perampasan Aset Koruptor yang macet sampai saat ini. Akhirnya, yang terjadi adalah silang kawin sistem pemerintahan dan politik kita menimbulkan polarisasi dan fragmentasi yang kuat bagi kekuasaan lembaga negara, tentu sistem ini gagal memberikan sumbangan terhadap perbaikan Negara.

Menakar koalisi besar sebagai konsekuensi logis ambiguitas sistem politik

Melihat permainan lapangan partai politik indonesia dan seluruh permainan survey politik yang mencuatkan banyak nama yang diusung untuk menjadi calon Presiden di 2024 membuat asumsi tentang gagalnya penerapan sistem politik yang ideal itu sungguh nyata adanya. Kenapa tidak? Sedari awal kita harusnya bisa menditeksi bahwa adanya presidensial threshold yang besar tentu tidak memungkinkan untuk menciptakan lebih dari 2 petarung dalam konstelasi pemilu presiden, secara electoral yang paling memungkinkan dan efektif adalah hanya memunculkan 2 paslon Presiden. Agaknya dari sini kita bisa melihat agak masuk akal juga upaya yang dilakukan oleh Airlangga dengan memunculkan ide koalisi besar jika dalam upaya mempertegas antagonisme politik untuk tercipta dua paslon presiden di 2024, yakni dari kubu Nasdem, Demokrat, PKS dan kubu Koalisi Kebangsaan yang masih cair.

Tentu, hal ini bisa kita baca sebagai upaya yang konyol jika kita benturkan proses pembentukan koalisi ini dengan watak partai politik di Indonesia yang sangat primordialistik. Terutama dalam proses penentuan calon presiden mereka. Kita tahu bahwa PAN, GOLKAR, PKB, GERINDRA telah gamblang menyuarakan akan mengusung ketua umum parpolnya masing-masing. Hal ini tentu tidak mudah untuk melakukan rekonsiliasi politik dengan ego primordialnya masing-masing. Sangatlah konyol jikalaupun akhirnya diusung nama Capres dari salah satu Partai di dalam koalisi tersebut. Sebut saja mengusung nama Sandiaga Uno atau Zulkifli hasan ini berarti mengugurkan nama capres yang telah disepakati oleh kongres masing-masing partai seperti Gerinda yang mengusung Prabowo Subianto untuk maju dalan Pilpres 2024. Jika ini terjadi, tentu ini adalah perangai yang tidak baik secara keorganisasian dan membingungkan secara politik. Resistensi kader-kader partai kemungkinan terjadi cukup besar bagai partai yang tidak mengusung ketua umumnya. Belum lagi, variabel PDIP sebagai partai pemenang 2 periode tentu akan berat jika harus disetir oleh pola permainan Airlangga. Secara psikologi elektoral, kondisi ini kemungkinan bisa menguntungkan bagi koalisi Nasdem, Demokrat dan PKS yang adem ayem saat ini dengan sosok capresnya Anies Baswedan.

Akhirnya, kita bisa melihat parpol ini tersandera dengan sistem politik yang ambigu. Kemungkinan yang terjadi, proses lobi-lobi politik yang terjadi jika berhasilpun adalah upaya-upaya untuk melanggengkan jatah kekuasaan mengelola APBN Negara. Kita tidak melihat satu gestur politik yang menegaskan kerelaan dari partai politik untuk focus pada kepentingan masyarakat lebih utama dari pada kepentingan kekuasaan. Yang terjadi seolah-olah partai politik koalisi kebangsaan saling intai dan terus menunggu sinyal kekuasaan hanya karena takut kehilangan afiliasi dengan kekuasaan. Hal ini terbukti dengan sering lalu-lalangnya partai pencetus koalisi kebangsaan ke istana untuk berdialog dengan jokowi.

Jokowi menjadi kunci suksesi koalisi kebangsaan karena memang PDIP dengan ego primodialnya sangatlah besar untuk menolak bergabung dengan Koalisi Kebangsaan. Hanya jokowi yang mampu menengahi ambisi politik PDIP dan Koalisi kebangsaan untuk tetap menjaga aura kekuasaan di masing-masing partai politik yang tergabung dalam koalisi. Megawati tidak mungkin mengorbankan Puan Maharani untuk dijadikan second choice dikedudukan Cawapres pasti inginnya adalah Capres. Win-win solution dari kondisi semacam ini adalah memunculkan tokoh baru cawapres seperti Erick Tohir yang memiliki cukup elektabilitas untuk disandingkan dengan Puan. Atau Habib lutfi untuk mengikat suara islam yang cukup besar di Indonesia. Meskipun dengan konsekuensi-konsekuensi politik yang menyertainya.

Tetapi, apa yang terjadi koalisi besar sampai detik ini tidak menemukan titik temu, terlebih saat PDIP mengumumkan ganjar pranowo sebagai Capres dari PDIP hal ini justru semakin memperenggang kondisi partai koalisi besar. Seolah-olah yang terjadi paska deklarasi Ganjar sebagai Capres PDIP beberapa partai yang tergabung dalam koalisi besar tidak ada lagi pergerakan, KIB justru pecah dan mempertegas gagalnya mimpi koalisi besar besutan airlangga tersebut.

Dari sekian kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, kita menemukan bahwa proses dinamika ini sama sekali tidak melibatkan masyarakat sebagai pemilik saham terbesar di sistem yang demokratis. Yang terjadi adalah kebingungan elit untuk saling memasangkan tokoh seperti orang yang berdagang sapi dan kalaupun ini terjadi tujuan pembentukan koalisi besar ini tidak memiliki jaminan stabilitas yang kuat nantinya di tengah sistem yang ambigu ini.

Solusi dari proses komunikasi politik yang cair di internal koalisi dengan kekuasaan adalah dengan melembagakan koalisi lewat undang-undang ( koalisi Permanen ). Hal ini lebih jelas dan tegas jika motifasi politik dari terbentuknya koalisi ini adalah upaya untuk menciptakan stabilitas politik diperjalanan pemerintahan yang baru. Dengan begitu, seluruh intervensi politik dari partai politik terhadap pemerintahan bisa terminimalisir demi melancarakan agenda-agenda yang bermanfaat untuk masyarakat.

View all comments

Write a comment